Pada tahun 2017, Deloitte mengumumkan
bahwa Gen Z akan mencakup lebih dari 20%
karyawan perusahaan dalam empat tahun ke depan. Meski begitu, perbincangan
mengenai kehadiran Gen Z di dunia kerja sepertinya belum mendapat respon yang tajam,
karena perhatian perusahaan tertuju pada Gen Y atau yang disebut dengan
generasi Millenial.
Berdasarkan banyak penelitian sebelumnya, Generasi Z mencakup mereka yang lahir setelah tahun 1995 atau lebih baru, sering disebut sebagai pasca-milenial. Penelitian yang dilakukan McKinsey (2018) menunjukkan bahwa, berdasarkan landasan kuat bahwa Gen Z adalah generasi yang mengejar apa yang diinginkannya, perilaku Gen Z terbagi dalam empat kategori menjadi elemen-elemen utama kebenaran.
Pencarian jati diri membuat Gen Z jauh lebih terbuka
dalam memahami keunikan masing-masing individu. Gen Z disebut sebagai “pecandu
komunitas” yang sangat inklusif dan
tertarik menggunakan teknologi canggih untuk melibatkan beragam
komunitas guna memperbesar manfaat yang
ingin mereka berikan.
Gen
Z dikenal sebagai “interlocutors”,
generasi yang percaya bahwa komunikasi adalah kunci untuk menyelesaikan konflik
dan perubahan terjadi melalui dialog. Selain
itu, Gen Z terbuka terhadap ide-ide berbeda dan senang berinteraksi dengan
individu dan kelompok berbeda.
Generasi
Z disebut sebagai “realis”, yaitu generasi yang cenderung lebih realistis
dan analitis dalam pengambilan keputusan
dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z
merupakan generasi yang menikmati kemandirian dalam proses belajar, pencarian
informasi, dan kendali atas keputusan
yang diambil. Generasi Z menyadari pentingnya keamanan finansial di masa depan.
Hal
ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa Gen Y dan baby boomer
cenderung lebih idealis, terutama dalam hal pekerjaan. Generasi Z dianggap
sebagai generasi yang kreatif dan inovatif. Menurut survei yang dilakukan
Harris Poll (2020), hingga 63% Gen Z tertarik
melakukan hal-hal kreatif yang berbeda setiap harinya. Gen Z lahir di
era smartphone , tumbuh dengan
kecanggihan teknologi komputer, dan memiliki
keterbukaan terhadap kemudahan internet.
Menurut
penelitian, 33% Gen Z menggunakan ponsel mereka selama lebih dari 6 jam sehari dan menggunakan media sosial jauh lebih banyak
dibandingkan generasi sebelumnya. Faktanya,
penelitian ini menunjukkan bahwa Generasi Z menghabiskan waktu paling banyak
menggunakan ponsel di Indonesia, yaitu 8,5 jam per hari. Menariknya, meski Gen
Z dikenal sebagai generasi digital, 44% Gen Z lebih memilih berkolaborasi
langsung dengan tim dan koleganya.
Selain itu, dalam studi tahun 2019
yang dilakukan oleh Khronos, 33% Gen Z
dari 3400 responden di seluruh negara
percaya bahwa fleksibilitas tempat kerja tidak hanya penting, tetapi bahkan merupakan kebutuhan yang esensial Faktanya, studi
tersebut menemukan bahwa meskipun Gen Z menganggap dirinya sebagai generasi
yang bekerja paling keras, mereka menghargai fleksibilitas sebagai
prinsip yang sangat penting, artinya
jika Gen Z tidak mau bekerja, mereka akan dipaksa untuk bekerja bahwa mereka tidak mau dipaksa
bekerja.
Menariknya, penelitian ini menemukan
bahwa Gen Z kurang percaya diri memasuki
dunia kerja, dan tuntutan jam kerja yang
panjang menjadi salah satu faktor
penentunya. Selain itu, Gen Z sering kali mengkhawatirkan kemampuan mereka untuk sukses di tempat
kerja. Gen Z memiliki setidaknya tiga hambatan emosional yang membuat mereka
merasa kurang percaya diri dalam pencapaian kariernya: kecemasan (34%),
kurangnya motivasi (20%), dan perasaan
rendah diri (17%). Meski demikian, Gen Z sangat optimis dengan kesuksesan di masa depan.
Hal ini didukung oleh inovasi luar biasa
Gen Z dan prinsip kuat tentang pentingnya keamanan finansial, yang
memotivasi mereka untuk terus berjuang mencapai kesuksesan. Potensi Unik Pada
dasarnya, Gen Z adalah generasi unik
dengan potensi luar biasa yang ada di dalamnya. Khususnya di Indonesia,
Gen Z lahir pada masa krisis ekonomi yang parah menghadirkan tantangan unik
bagi orang tua yang membesarkan generasi
pasca-milenial di masa-masa sulit.
Ketakutan yang dirasakan orang tua tanpa
disadari juga mempengaruhi perkembangan kepribadian Gen Z. Karena Gen Z tumbuh
pada masa resesi, mereka diberikan perlindungan
yang lebih besar dan oleh karena itu sering kali lebih rentan terhadap
rasa takut jika terjadi masalah.
Hal ini juga berarti bahwa Gen Z percaya
bahwa keamanan finansial penting bagi masa depan mereka. Fenomena ini juga
tercermin dalam respons Gen Z terhadap pandemi COVID-19. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Harris Poll (2020), 83% dari 4.444 Gen Z mengikuti berbagai
langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut. Selain
itu, 79% dari mereka mematuhi peraturan penggunaan masker.
Generasi Z diyakini lebih berhati-hati
dan bahkan takut ketika menyadari risiko yang dapat terjadi dalam situasi
tertentu, dan mereka cenderung terus mempelajari suatu hal baik melalui
internet maupun media sosial. Kecenderungan ketakutan dan stres juga tampak
muncul ketika Gen Z memasuki dunia
kerja.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Forbes (2018), 77% Gen Z merasa stres di tempat
kerja karena persepsi mereka terhadap
lingkungan kerja yang kompetitif, jam
kerja yang panjang, dan tuntutan jadwal untuk menyelesaikan pekerjaan.
Gen Z lebih cenderung mengalami
kecemasan dan stres, sehingga tidak mengherankan jika keseimbangan kehidupan
kerja dianggap penting bagi Gen Z untuk mencapai kinerja idealnya. Hal ini
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kronos Incorporated (2019)
bahwa perusahaan perlu memandang work-life balance sebagai investasi pada
generasi pekerja baru dan terus berkembang. Sumber: Kronos Incorporated (2019)
Penelitian tersebut juga menjelaskan
bahwa ada banyak faktor yang dapat dipenuhi oleh perusahaan untuk mendukung work-life balance, antara lain: B. Jadwal
kerja fleksibel, cuti berbayar, cuti sakit berbayar, dan cuti medis
berbayar. Selain itu, sebagai generasi yang dikenal ulet, Gen Z mempunyai
ekspektasi yang tinggi terhadap 4.444 perusahaan yang memiliki kebijakan
manajemen karir yang baik Gen Z lebih cenderung bertahan di organisasi yang tidak hanya menawarkan
keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan yang baik namun juga memberikan
peluang karier yang baik di masa depan.
Sebagai generasi termuda dalam angkatan
kerja saat ini, Generasi Z sangat tertarik untuk melakukan pekerjaan yang bermakna dan merasa puas jika
mereka dapat berkontribusi pada organisasi tempat mereka bekerja. Selain itu,
Gen Z percaya bahwa hal terpenting yang ditawarkan perusahaan kepada karyawannya adalah peluang untuk
berkembang dan berkembang. Ide ini
terkait dengan artikel yang dimuat di Harvard Business Review (2020). Artikel
ini menjelaskan bahwa ada sejumlah strategi yang harus diterapkan oleh
organisasi dalam mengelola Gen Z, terutama di masa pandemi.
Survei
NEW & Deloitte pada tahun 2018 juga menegaskan bahwa manajemen talenta
kini menjadi prioritas yang perlu
dipikirkan ulang oleh bisnis. Ia mengatakan organisasi perlu beralih dari cara
berpikir tradisional tentang siklus hidup
karyawan dalam suatu organisasi. Rekrut, kembangkan, dan pertahankan
talenta menuju pola pikir inti yang
dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana organisasi harus mengakses,
mengelola, dan melibatkan semua talentanya. Selain itu, organisasi perlu
membuat kerangka berpikir berdasarkan tiga dimensi strategis tersebut.
Pertama, menentukan strategi untuk
memanfaatkan kemampuan yang ada di setiap level organisasi (akses).
Kedua, menentukan strategi pengembangan
talenta organisasi dan
mengintegrasikannya ke dalam rencana karir masing-masing individu
(kurator).
Ketiga, menentukan strategi keterlibatan manusia dan keterlibatan organisasi. Model pemikiran ini berkaitan dengan karakteristik Generasi Z yang berfokus pada praktik pengembangan karyawan yang mendukung pertumbuhan karir dan budaya kerja inklusif yang dilandasi hubungan erat antar orang dalam suatu organisasi. Namun kehadiran dan peran pimpinan organisasi dalam penerapan model modern merupakan aspek mendasar. Gen Z termotivasi untuk bekerja keras dan bertahan di organisasi di mana para pemimpin secara konsisten memberikan kepercayaan, dukungan, dan kepedulian kepada seluruh 4.444 karyawan dan di mana mereka dapat tumbuh secara profesional (Kronos Incorporated, 2019).
Dengan demikian, kepribadian seorang
pemimpin yang berorientasi pada kebijaksanaan menjadi landasan bagi keberlangsungan pengelolaan sumber daya
manusia organisasi yang baik. Dasar-dasar Organisasi Sebagai generasi termuda
yang siap memasuki dunia kerja, Generasi Z memiliki potensi unik yang sangat penting bagi
kemajuan organisasi.
Generasi Z terdiri dari generasi muda
yang tumbuh dengan naluri dan intuisi
inovasi yang, jika dikelola dengan baik, dapat membantu perusahaan menciptakan
keunggulan kompetitif yang kuat. Kepekaan dan hasrat Generasi Z terhadap
inovasi berpotensi membantu perusahaan mengembangkan ide orisinal dan baru
yang berkontribusi terhadap terobosan
baru dalam pengembangan produk, inovasi pemasaran, dan proses produksi hingga distribusi.
Sebagai generasi yang inovatif, Gen Z
mendambakan inovasi dari organisasi tempat mereka bekerja (Han, 2020) dan
menginginkan penyelarasan nilai-nilai terkait cara kerja yang inovatif. Pada
akhirnya, para pemimpin organisasi harus merespons dengan menanamkan budaya
inovasi di seluruh organisasi.
Selain fokus pada penciptaan nilai dan
prinsip kerja, sudah selayaknya juga menyelaraskan kebijakan organisasi yang
mendukung kinerja inovasi masing-masing departemen. Memperkenalkan budaya
inovasi dan mendukung Generasi Z sebagai tenaga kerja inovatif diharapkan dapat memperluas kemampuan
organisasi agar tangkas dalam merespons perubahan dan kebutuhan lingkungan di
masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar