Sabtu, 08 Juni 2024

Gen Z: Sang Pelopor Inovasi

Pada tahun 2017, Deloitte mengumumkan bahwa Gen Z akan mencakup lebih dari 20% karyawan perusahaan dalam empat tahun ke depan. Meski begitu, perbincangan mengenai kehadiran Gen Z di dunia kerja sepertinya belum mendapat respon yang tajam, karena perhatian perusahaan tertuju pada Gen Y atau yang disebut dengan generasi Millenial.

Berdasarkan banyak penelitian sebelumnya, Generasi Z mencakup mereka yang  lahir setelah tahun 1995 atau lebih baru, sering disebut sebagai pasca-milenial. Penelitian yang dilakukan  McKinsey (2018) menunjukkan bahwa, berdasarkan landasan kuat bahwa Gen Z adalah generasi yang mengejar apa yang diinginkannya, perilaku Gen Z terbagi dalam empat kategori menjadi elemen-elemen utama kebenaran.

Pencarian  jati diri membuat Gen Z jauh lebih terbuka dalam memahami keunikan masing-masing individu. Gen Z disebut sebagai “pecandu komunitas” yang sangat inklusif dan  tertarik menggunakan teknologi canggih untuk melibatkan beragam komunitas  guna memperbesar manfaat yang ingin mereka berikan.

            Gen Z dikenal  sebagai “interlocutors”, generasi yang percaya bahwa komunikasi adalah kunci untuk menyelesaikan konflik dan perubahan terjadi melalui  dialog. Selain itu, Gen Z terbuka terhadap ide-ide berbeda dan senang berinteraksi dengan individu dan kelompok berbeda.

            Generasi Z disebut sebagai “realis”, yaitu generasi yang cenderung lebih realistis dan  analitis dalam pengambilan keputusan dibandingkan  generasi sebelumnya. Gen Z merupakan generasi yang menikmati kemandirian dalam proses belajar, pencarian informasi, dan  kendali atas keputusan yang diambil. Generasi Z menyadari pentingnya keamanan finansial di masa depan.

            Hal ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa Gen Y dan baby boomer cenderung lebih idealis, terutama dalam hal pekerjaan. Generasi Z dianggap sebagai generasi yang kreatif dan inovatif. Menurut survei yang dilakukan Harris Poll (2020), hingga 63% Gen Z tertarik  melakukan hal-hal kreatif yang berbeda setiap harinya. Gen Z  lahir di  era smartphone , tumbuh  dengan kecanggihan teknologi komputer, dan memiliki  keterbukaan terhadap kemudahan internet.

            Menurut penelitian, 33% Gen Z menggunakan ponsel mereka selama lebih dari 6 jam sehari dan  menggunakan media sosial jauh lebih banyak dibandingkan  generasi sebelumnya. Faktanya, penelitian ini menunjukkan bahwa Generasi Z menghabiskan waktu paling banyak menggunakan ponsel di Indonesia, yaitu 8,5 jam per hari. Menariknya, meski Gen Z dikenal sebagai generasi digital, 44% Gen Z lebih memilih berkolaborasi langsung dengan tim dan koleganya.

Selain itu, dalam studi tahun 2019 yang  dilakukan oleh Khronos, 33% Gen Z dari 3400 responden  di seluruh negara percaya bahwa fleksibilitas tempat kerja tidak hanya  penting, tetapi bahkan merupakan  kebutuhan yang esensial Faktanya, studi tersebut menemukan bahwa meskipun Gen Z menganggap dirinya sebagai generasi yang bekerja paling  keras,  mereka menghargai fleksibilitas sebagai prinsip yang sangat  penting, artinya jika Gen Z tidak mau bekerja, mereka akan dipaksa untuk  bekerja bahwa mereka tidak mau dipaksa bekerja.

Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa Gen Z kurang percaya diri  memasuki dunia kerja, dan tuntutan jam kerja  yang panjang  menjadi salah satu faktor penentunya. Selain itu, Gen Z sering kali mengkhawatirkan  kemampuan mereka untuk sukses di tempat kerja. Gen Z memiliki setidaknya tiga hambatan emosional yang membuat mereka merasa kurang percaya diri dalam pencapaian kariernya: kecemasan (34%), kurangnya motivasi (20%), dan  perasaan rendah diri (17%). Meski demikian, Gen Z sangat optimis dengan kesuksesan  di masa depan.

Hal ini didukung oleh inovasi luar biasa Gen Z dan  prinsip kuat  tentang pentingnya keamanan finansial, yang memotivasi mereka untuk terus berjuang mencapai kesuksesan. Potensi Unik Pada dasarnya, Gen Z adalah generasi  unik dengan potensi  luar biasa  yang ada di dalamnya. Khususnya di Indonesia, Gen Z lahir pada masa krisis ekonomi yang parah menghadirkan tantangan unik bagi  orang tua yang membesarkan generasi pasca-milenial di masa-masa sulit.

Ketakutan yang dirasakan orang tua tanpa disadari juga mempengaruhi perkembangan kepribadian Gen Z. Karena Gen Z tumbuh pada masa resesi, mereka diberikan perlindungan  yang lebih besar dan oleh karena itu sering kali lebih rentan terhadap rasa takut jika terjadi masalah.

Hal ini juga berarti bahwa Gen Z percaya bahwa keamanan finansial penting bagi masa depan mereka. Fenomena ini juga tercermin dalam respons Gen Z terhadap pandemi COVID-19. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Harris Poll (2020), 83% dari 4.444 Gen Z mengikuti berbagai langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih lanjut. Selain itu, 79% dari mereka mematuhi peraturan penggunaan masker.

Generasi Z diyakini lebih berhati-hati dan bahkan takut ketika menyadari risiko yang dapat terjadi dalam situasi tertentu, dan mereka cenderung terus mempelajari suatu hal baik melalui internet maupun media sosial. Kecenderungan ketakutan dan stres juga tampak muncul ketika Gen Z  memasuki dunia kerja.

            Menurut penelitian yang dilakukan oleh Forbes (2018), 77% Gen Z merasa stres di tempat kerja karena persepsi  mereka terhadap lingkungan kerja yang  kompetitif, jam kerja yang panjang, dan tuntutan jadwal untuk menyelesaikan pekerjaan.

Gen Z lebih cenderung mengalami kecemasan dan stres, sehingga tidak mengherankan jika keseimbangan kehidupan kerja dianggap penting bagi Gen Z untuk mencapai kinerja idealnya. Hal ini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kronos Incorporated (2019) bahwa perusahaan perlu memandang work-life balance sebagai investasi pada generasi pekerja baru dan terus berkembang. Sumber: Kronos Incorporated (2019)

Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang dapat dipenuhi oleh perusahaan untuk mendukung  work-life balance, antara lain: B. Jadwal kerja  fleksibel, cuti  berbayar, cuti sakit berbayar, dan cuti medis berbayar. Selain itu, sebagai generasi yang dikenal ulet, Gen Z mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap 4.444 perusahaan yang memiliki kebijakan manajemen karir yang baik Gen Z lebih cenderung bertahan  di organisasi yang tidak hanya menawarkan keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan yang baik namun juga memberikan peluang karier yang baik di masa depan.

Sebagai generasi termuda dalam angkatan kerja saat ini, Generasi Z sangat tertarik untuk melakukan  pekerjaan yang bermakna dan merasa puas jika mereka dapat berkontribusi pada organisasi tempat mereka bekerja. Selain itu, Gen Z percaya bahwa hal terpenting yang ditawarkan perusahaan kepada  karyawannya adalah peluang untuk berkembang  dan berkembang. Ide ini terkait dengan artikel yang dimuat di Harvard Business Review (2020). Artikel ini menjelaskan bahwa ada sejumlah strategi yang harus diterapkan oleh organisasi dalam mengelola Gen Z, terutama di masa pandemi.

Survei  NEW & Deloitte pada tahun 2018 juga menegaskan bahwa manajemen talenta kini menjadi  prioritas yang perlu dipikirkan ulang oleh bisnis. Ia mengatakan organisasi perlu beralih dari cara berpikir tradisional tentang siklus hidup  karyawan dalam suatu organisasi. Rekrut, kembangkan, dan pertahankan talenta menuju pola pikir inti  yang dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana organisasi harus mengakses, mengelola, dan melibatkan semua talentanya. Selain itu, organisasi perlu membuat kerangka berpikir berdasarkan tiga dimensi strategis tersebut.

Pertama, menentukan strategi untuk memanfaatkan kemampuan yang ada di setiap level organisasi (akses).

Kedua, menentukan strategi pengembangan talenta organisasi dan  mengintegrasikannya ke dalam rencana karir masing-masing individu (kurator).

Ketiga, menentukan strategi keterlibatan manusia dan keterlibatan organisasi. Model pemikiran ini berkaitan dengan karakteristik Generasi Z yang berfokus pada praktik pengembangan karyawan yang mendukung pertumbuhan karir dan budaya kerja inklusif yang dilandasi hubungan erat antar orang dalam suatu organisasi. Namun kehadiran dan peran pimpinan organisasi dalam penerapan model modern merupakan aspek mendasar. Gen Z  termotivasi untuk bekerja keras dan bertahan di organisasi di mana para pemimpin secara konsisten memberikan kepercayaan, dukungan, dan kepedulian kepada seluruh 4.444 karyawan dan di mana mereka dapat tumbuh secara profesional (Kronos Incorporated, 2019).

Dengan demikian, kepribadian seorang pemimpin yang berorientasi pada kebijaksanaan menjadi landasan bagi  keberlangsungan pengelolaan sumber daya manusia organisasi yang baik. Dasar-dasar Organisasi Sebagai generasi termuda yang siap memasuki dunia kerja, Generasi Z memiliki  potensi unik yang sangat penting bagi kemajuan organisasi.

Generasi Z terdiri dari generasi muda yang tumbuh dengan  naluri dan intuisi inovasi yang, jika dikelola dengan baik, dapat membantu perusahaan menciptakan keunggulan kompetitif yang kuat. Kepekaan dan hasrat Generasi Z terhadap inovasi berpotensi membantu perusahaan mengembangkan ide orisinal dan baru yang  berkontribusi terhadap terobosan baru dalam pengembangan produk, inovasi pemasaran, dan  proses produksi hingga distribusi.

Sebagai generasi yang inovatif, Gen Z mendambakan inovasi dari organisasi tempat mereka bekerja (Han, 2020) dan menginginkan penyelarasan nilai-nilai terkait cara kerja yang inovatif. Pada akhirnya, para pemimpin organisasi harus merespons dengan menanamkan budaya inovasi  di seluruh organisasi.

Selain fokus pada penciptaan nilai dan prinsip kerja, sudah selayaknya juga menyelaraskan kebijakan organisasi yang mendukung kinerja inovasi masing-masing departemen. Memperkenalkan budaya inovasi dan mendukung Generasi Z sebagai tenaga kerja inovatif  diharapkan dapat memperluas kemampuan organisasi agar tangkas dalam merespons perubahan dan kebutuhan lingkungan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Light Pink Pointer